14 July 2012

Musyahadah

Tercapainya musyahadah ini adalah dgn adanya mujahada dlm beramal. Terjadinya keadaan yg demikian ini apabila seseorang sudah berada dlm maqam fana' yakni penglihatannya hanya ditujukan kepada Allah semata2. Kerana pada hakikatnya wujud hakiki yg kekal hanyalah Allah, sedang wujud lain tiada lagi.
    Maka hanya org yg mau menghiasi diri dengan mujahadah dgn sentiasa dzikrullah dan membersihkan hatinya saja yg dapat mencapai musyahadah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar Risalah Al Qusyairiah :
    "Barangsiapa menghiasi zahirnya dengan mujahada, nescaya Allah memperbaiki 'sir'nya(rahsia) / hatinya dengan musyahadah".
    Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan adanya kehadiran Allah. Sebagaimana diterangkan dalam Ar Risalah Al Qusyairiah :
    "Al Musyahadah adalah kehadiran Allah".
Kehadiran tingkat musyahadah ini adalah didahului dgn kehadiran hati di hadapan Allah dan beserta Allah atau yg dinamakan hudurul qolbi. Mengingat Allah dgn sepenuh hati artinya dgn hati yg khusyu' saat melakukan dzikrullah qdan mendekatkan diri kepada Allah.
    Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-mukasyafah atau terbukanya rahsia, ertinya tiada tertutup lagi sifat2 ghaib. Maksudnya tersingkaplah rahsia alam ghaib.
    "Tiada tertutup dari sifat-sifat ghaib".
    Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al musyahadah. Menurut Al Junaid :
    " Al Musyahadah adalah nampaknya Al Haqqu Ta'ala di mana alam perasaan sudah tiada".
    Dalam kitab Iqazhul Himam dikatakan :
" Al Musyahadah adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran Nur Yang Suci, iaitu tersingkapnya tabir pemeliharaan Alam wujud. Ketika itu engkau
melihat Dzattullah dalam Alam ghaib / alam malakut. Dan Allah melihat kamu dlm alam wujud / alam mulkihi. Ketika itu engkau melihat rhsia ketuhanannya, dan Allah pun melihat pengabdianmu. Dan adapun pandangan tuhan terhadap hambaNya adalah meliputi ilmunya, ahwalnya dan rahsia-rahsiaNya.
    Ada pula yg mengatakan musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
    "Rasakanlah mati sebelum engkau mati".

    Dalam Kitab Hikam Abu Mu'jam mengatakan :
"Barangsiapa tidak merasai mati, nescaya ia tidak dapat melihat / musyahadah dengan Al Haqq Ta'ala.

    Sedangkan yg dimaksud mati dlm pengertian ini adalah hidupnya hati. Dan tiada saat kehidupan hati melainkan pada saat matinya nafsu. Jadi, erti mati sebenarnya dlm pengertian ini adalah matinya nafsu.

    Selanjutnya dalam Kitab Al Hikam, Abu Abbas berkata:
"Tiada jalan masuk / musyahadah dengan Allah kecuali melalui dua pintu; Salah satu daripada pintu itu adalah pintu fana' ul akbar, iaitu mati "tabi'i", dan daripada pintu fana' menurut pengertian ahli-ahli Tasawwuf".

" Tiada yang hidup selain Allah ".
" Tiada yang dipuji melainkan Allah ".
" Siapa yang belum pernah merasai ia belum mengenalNya ".
" Tiada wujud secara mutlak kecuali Allah ".

    Seseorang akan dapat mengenal Allah atau makrifat billah apabila terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
    " Barangsiapa mengenal diri peribadinya, maka ia akan mengenal Tuhannya ".

25 September 2007

Siapakah Yang Layak Mendapat Bantuan Daripada Allah

Apabila manusia sudah tidak bernyawa maka ia dipanggil mayat. Yaitu jasad yang sudah kehilangan fungsi. Malah dalam waktu yang sangat singkat jasad itu akan mengalami pembusukan dan akhirnya hancur. Demikian juga umat Islam yang terpisah dari soal kerohanian dan alam ghaib, sama seperti jasad yang tiada roh. Umat Islam tanpa alam kerohanian ini, hanya tinggal salut luar saja tetapi isinya sudah tiada. Kalaupun masih berisi, kadang-kadang isinya pula sudah bertukar dengan berbagai isme atau ideologi yang semuanya berasal dari ajaran thoghut. Jumlah umat Islam yang ramai itu ibarat harimau kertas. Sekalipun kelihatan bertaring panjang, namun kosong dan hanya menggelembung dengan kapas dan kain perca .

Roh dari ajaran Islam itu berkait rapat dengan keimanan, ketaqwaan, alam kerohanian, alam ghaib, barokah dan karomah. Semua ini dapat diibaratkan seperti mesin mobil. Tanpa mesin, sesebuah mobil hanya tinggal rangka yang sudah tidak berfungsi. Andaikan ‘body’ mobil itu berkilau, joknya empuk, dilengkapi dengan aksesoris canggih, mobil tersebut tidak akan ke mana-mana. Lebih bagus kereta lembu yang berfungsi daripada mobil tak bermesin.

Begitulah nasib malang yang menimpa umat Islam. Bantuan ghaib, barokah dan karomah sudah tersisih dan dianggap begitu asing dari kehidupan dan perjuangan. Wali dan karomah dianggap dongeng lebih-lebih lagi dianggap sesat. Persoalan kerohanian dikikis seperti kudis atau bisul pada tubuh yang perlu dibuang dan dijauhi. Umat Islam sendiri sudah bertindak me’momok’kan dan memburukkan gambaran mengenai wali dan karomah. Umat Islam takut kepada kewalian dan karomah seperti menghindari penyakit menular. Sesuatu yang berlaku secara khawariqul’ adah tidak dapat diterima dengan alasan tidak logik. Sedangkan sifat khawariqul ‘adah itu berlaku di luar logik dan tidak rasional. Mukjizat para Rasul semuanya berlaku tanpa logika. Demikian juga kedudukannya dengan karomah. Memang hal itu di luar logika dan pencapaian akal manusia. Di situlah Allah SWT memperlihatkan kekuasaanNya yang mutlak agar manusia takut, gentar dan merasakan betapa kerdilnya seluruh makhlukNya yang segala-galanya tertakluk kepada kuasa Allah SWT dan berada di dalam genggaman-Nya.

Spanyol pernah berada di bawah Islam. Islam di Spanyol hancur dibasmi habis-habisan hingga seolah-olah tidak pernah tegak kerajaan Islam. Kemusnahan dan kehinaan ini bukan bersumber dari lemahnya pentadbiran, tentera, kemajuan, ilmu pengetahuan, ekonomi dan teknologi. Tetapi disebabkan lemah keimanan, rendah ketaqwaan, runtuh akhlak, roboh perpaduan, lenyapnya kasih sayang.

Pautan hati dengan Allah sudah terlalu lemah. Ikatan syariat Islam sudah terlalu longgar. Kemungkaran dan kezaliman sangat leluasa. Mazmumah dalam diri sangat subur. Masing-masing memburu kepentingan duniawi yang melampau. Jiwa menjadi kerdil karena lemahnya cita-cita akhirat. Akal menjadi tumpul karena penumpuan kepada aspek kepentingan diri dan keluarga. Semangat perjuangan terus luntur karena terbius dengan kelezatan duniawi dan kerakusan nafsu.

Situasi demikian itu menjadikan mereka terpisah dari persoalan kerohanian. Mereka terhijab dari bantuan Allah SWT. Mereka tersisih dan terputus hubungan dari pemerintahan ghaib. Mereka bergantung hanya kepada kekuatan lahiriah. Akibatnya, Allah SWT berlepas tangan. Allah SWT tidak pandang dengan pandangan rahmat. Lebih dahsyat dari itu ialah Allah SWT murka dan timpakan dengan berbagai kehinaan.

Begitu juga apa yang pernah berlaku di Baghdad yang ketika itu dikenali sebagai Kota Ilmu. Di saat itu Baghdad berada di puncak kegemilangan ilmu pengetahuan. Umat Islam terlalu asyik dengan ilmu dan menimbun harta-benda. Keasyikan itu menyebabkan mereka lalai dari membesar dan mengagungkan Allah SWT. Mereka semakin jauh dari Allah SWT.

Persoalan kerohanian terus terpinggir. Akhirnya hancur lumat Kota Baghdad. Timbunan kitab dijadikan unggun api dan sebagiannya dijadikan landasan untuk kuda menyeberangi sungai. Umat yang asyik tenggelam dalam kekaguman kitab-kitab serta ilmu pengetahuan itu rupanya berjiwa kerdil dan penakut. Mereka sedikit pun tidak mampu melawan satu bangsa yang tidak pernah mengenal tamaddun iaitu Monggol.

Hikmah di sebalik keruntuhan Baghdad itu Allah memperlihatkan betapa golongan yang sedikit terbukti menang dengan bantuan Allah SWT. Kerajaan langit atau pemerintahan ghaib berperanan bagi memenangkan golongan yang sedikit tetapi benar-benar beriman dan bertaqwa. Ia juga memperlihatkan bahawa di dalam situasi bagaimanapun umat Islam tetap menang dan berjaya asalkan memiliki syarat-syarat bagi Allah SWT untuk mendatangkan pertolongan-Nya.

Firman Allah SWT bermaksud: “Golongan sedikit mengalahkan golongan yang ramai dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249)
Allah SWT memperlihatkan kekuasaan-Nya mengatasi tiap-tiap sesuatu dan apabila Allah SWT sudi membela ‘orang-orang-Nya’ maka di tengah-tengah keruntuhan kehancuran Baghdad itu bangkit satu kelompok yang sangat kecil bilangannya tetapi berkualitas.

Kelompok kecil ini bangun dengan kekuatan iman dan taqwa diiringi dan dinaungi oleh pertolongan Allah SWT. Mereka bukan saja tidak terpengaruh sedikit pun oleh keganasan Monggol bahkan Allah SWT lindungi mereka. Dan mereka juga tidak disentuh oleh kemusnahan Baghdad dengan bantuan Allah SWT, mereka dibantu oleh Allah SWT hingga dapat menguasai kembali bangsa Monggol.

Bukan dengan kekuatan senjata atau ketenteraan tetapi mereka menewaskan Monggol melalui keperibadian yang mulia, akhlak yang luhur dan mempesona, dakwah dan didikan yang berkesan. Hasilnya, terjadi dalam sejarah, satu-satunya bangsa penjajah yang menyerah dan menuruti agama, cara hidup dan kebudayaan anak jajahan. Bukankah ini satu keanehan dan di luar kebiasaan manusia.
Kublai Khan sebaliknya menebus kembali kesilapannya dengan menjadi pejuang Islam berserta anaknya hingga Islam berkembang ke Asia Selatan.

Kini siapakah di kalangan umat Islam yang layak mendapat bantuan dan pertolongan Allah SWT? Kelompok mana atau golongan mana di kalangan umat Islam ini yang layak mendapat kerjasama dari kerajaan ghaib yang di kalangan mereka itu sering berlakunya karomah atau khawariqul ‘adah? Siapakah di kalangan umat ini yang Allah SWT ’sudi memandangnya’?

Pertanyaan ini sepatutnya senantiasa bermain di benak kita, dan mencari jawabannya. Menjawab persoalan ini artinya umat Islam perlu membuat muhasabah, menghitung dan menilai diri. Dan bertanyalah pada diri sendiri serta jawab dengan jujur apakah kita ini layak dipanggil ‘orang Allah’? Apakah tahap keimanan kita sekurang-kurangnya iman ‘Ayan atau memiliki nafsu peringkat Mutmainnah? Kitakah yang bergelar Ashabul Yamin, Al Abrar, Al Faizuun, orang soleh yang menepati taqwa yang sebenar? Tidak keterlaluan kalau dikatakan bahwa tidak ada kedudukan di tahap yang demikian itu di kalangan umat Islam. Allah SWT tidak mungkiri janji-Nya. Andaikata umat ini layak dan cukup syarat untuk mendapat bantuan Allah SWT, Allah SWT telah berjanji di dalam Al Quran melalui firman-Nya yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah akan mewariskan bumi ini kepada hamba-Ku yang soleh.” (Al-Anbiya: 105)

Siapakah mereka itu? Mereka yang di antara ciri-cirinya ialah dalam sehari semalam berada dalam amalan soleh atau kebaikan atau kebaktian selama delapan belas jam. Enam jam selain itu mereka berbuat perkara mubah dan jarang sekali jatuh kepada dosa. Kalau berbuat dosa, itu tidak disengaja dan itu pun terlalu sedikit dan bersegera memohon keampunan.

Selain para Rasul dan para sahabat, Allah SWT telah tunaikan janji-Nya kepada mereka yang telah mempunyai ciri-ciri tersebut, di antaranya Sayidina Umar Ibnu Abdul Aziz, Salahuddin Al Ayubi dan Muhammad Al Fateh. Kerajaan ghaib bersama-sama dalam pemerintahan mereka. karena mereka itulah maka seluruh urusan umat dibantu, dipermudahkan dan diberkati. Kalimah yang tepat dari Allah SWT untuk menggambarkan keadaan mereka itu ialah “Wabihim yunsaruun.”

Karena mereka, yang lain dibantu, ditolong dan dipermudahkan. Tiada siapa yang mampu menjinakkan serigala hingga dapat bergurau-senda dengan kambing. Kalau sekedar seekor atau dua ekor mungkin ahli sirkus mampu mengasuhnya. Tetapi mustahil untuk melunakkan seluruh serigala agar bisa berdamai dengan kambing. Tetapi itulah yang berlaku di zaman Sayidina Umar Abdul Aziz. Ini terbukti apabila dengan secara mendadak serigala menerkam kambing apabila barokah dan karomah diangkat oleh Allah SWT di saat kewafatan Sayidina Umar Abdul Aziz.

Di zaman pemerintahan Sayidina Umar Ibnu Abdul Aziz, kemakmuran merata. Kehidupan sejahtera dan aman damai. Pemimpinnya adil, orang kayanya pemurah, para ulamanya zuhud dan mendidik masyarakat. Fakir miskin turut berlumba-lumba untuk memberi, bukan meminta-minta sehingga tiada siapa yang merasa layak untuk menerima zakat. Masing-masing merasa kaya yaitu kaya jiwanya dengan iman dan taqwa. Perpaduan dan kasih sayang sangat utuh dan melahirkan keindahan hidup bermasyarakat. Saling kuat membela dan membantu. Inilah yang disifatkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya: “Negara yang aman makmur dan mendapat keampunan Allah SWT.” (Saba’: 15)

Mudah untuk memakmurkan kehidupan manusia. Mudah untuk menyogokkan kemajuan dan pembangunan. Mudah untuk mencapai perkembangan ekonomi tinggi. Mudah untuk menanamkan minat terhadap teknologi secanggih manapun. Tetapi tiada jaminan untuk mendapat keampunan, keredhaan dan rahmat Allah SWT. Ini semua akan melahirkan kehidupan masyarakat yang penuh keharmonian, kasih sayang, tolong menolong, aman damai dan selamat sejahtera.

Model ketinggian tamaddun material berada di mana-mana pelosok dunia dan mudah dipindahkan ke tempat lain. Tetapi di mana dapat ditiru model kehidupan masyarakat yang memiliki tamaddun kerohanian yang tinggi.

Begitulah sebagai contoh peribadi yang sekedar percikan dari Al Imamul Muttaqin iaitu Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri berada di tahap tertinggi di kalangan manusia sebab itu peringkat Rasulullah SAW itu adalah ‘rahmatan lil alamin’ . Seluruh alam yang merangkumi alam nyata dan alam ghaib mendapat limpahan rahmat karena kehadiran Rasulullah SAW. Maka ada golongan lain yang mengiringi Baginda mengikut urutan taqwa, limpahan barokah dan karomah yang dikurniakan oleh Allah SWT sehingga dinobatkan sebagai “Wabihim yunsaruun.” .

Artinya dengan sebab mereka maka orang lain dibantu. Para salafussoleh berada di kedudukan tinggi dan dominan berbanding kaum-kaum lain karena mereka adalah orang-orang Allah SWT. Allah SWT menaungi mereka maka muka bumi ini pun selamat di tangan mereka. Ini adalah karena mereka telah benci akan kemuliaan dan keuntungan dunia. Seluruh kehidupan dunia tidak lebih dari alat untuk menuju Allah SWT dan bekalan akhirat.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan Allah telah berjanji kepada orang beriman di antara kamu dan mengerjakan amalan soleh, bahawa Dia akan benar-benar menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.” (An-Nur: 55)

Rasulullah SAW bersabda: ” Barangsiapa membaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan menyempurnakan hubungannya dengan manusia. Barangsiapa memperbaiki apa yang dirahsiakannya, maka Allah akan memperbaiki apa yang dilahirkannya (terang-terangan)…” (Riwayat Al-Hakim)

Kebenaran (haq) datangnya dari Allah SWT. Ayat Al Quran atau dengan lain perkataan Islam ini adalah Allah SWT yang punya maka Allah SWT menjaganya. Apabila muncul golongan yang benar-benar tepat berada di jalan kebenaran itu maka Allah SWT pasti membelanya. Allah SWT bela karena di tangan golongan itu terjamin Islam itu benar-benar murni dan tulen. Di tangan golongan ini Islam itu benar-benar menepati kehendak Allah dan RasulNya. Mereka memiliki cukup syarat maka tentera Allah SWT pun berperanan. Allah SWT hantar tenteraNya untuk mengalahkan musuh. Sedikit saja di kalangan pejuang kebenaran mempersiapkan tenteranya yang kadang-kadang tidak sampai perlu berfungsi.

Lihat saja bagaimana Allah SWT membela dan memenangkan pejuang-pejuang kebenaran. Allah SWT kirim tenteraNya yang hanya dengan itu agar manusia melihat dan takut dengan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Agar manusia juga melihat betapa kebenaran itu sentiasa dibela dan dimenangkan oleh Allah SWT. Agar manusia faham bahawa kebatilan pasti musnah. Memusuhi kebenaran artinya memusuhi Allah SWT, maka Allah SWT tewaskan musuh-musuhNya yang kadang-kadang hanya dengan benda yang kecil saja, umpamanya nyamuk. Ini karena Allah SWT mahu para pejuang Islam yakin akan belaan Allah SWT.

Allah menceritakan sejarah para Nabi dan Rasul di dalam Al Quran sebagai pengajaran buat kita. Diceritakan bagaimana berlakunya kehinaan dan kebinasaan umat dahulu, lantaran derhaka dan kesombongan mereka menentang ajakan Rasul. Mereka mati dalam keadaan hina, di akhirat sekali lagi akan terhina dengan azab siksa yang pedih.

Allah SWT hantar tentera-tenteraNya dalam berbagai bentuk. Kaum Nabi Nuh a.s. binasa dilanda ribut taufan dan banjir besar. Semua yang derhaka, termasuk anak dan isterinya, serta binatang yang tidak dapat diselamatkan habis mati. Sebelum kejadian banjir besar itu, Nabi Nuh telah memberi peringatan kepada mereka supaya mentaati Allah dan kembali kepada kebenaran, namun mereka tetap dengan pegangan yang sesat itu (menyembah berhala), malah mengajak orang lain turut sama. Oleh karena kengeyelanan mereka, Nabi Nuh terpaksa berdoa kepada Allah untuk membinasakan umatnya yang ingkar itu. Firman Allah SWT: “Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, janganlah engkau biarkan seorangpun di antara orangorang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, nescaya mereka akan menyesatkan hambahambaMu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Surah Nuh: 26-27)

Itulah sebahagian daripada kebinasaan yang menimpa umat dahulu. Kini kemungkaran bermaharajalela di dalam masyarakat kita. Insaf dan bertaubatlah sebelum tiba ketentuan dari Allah.

Sabda Rasulullah SAW bermaksud: “…Bila satu kaum melakukan penzinaan secara terang-terangan, mereka akan diserang oleh penyakit yang belum pernah dialami oleh nenek moyang mereka. Bila mereka mengurangi timbangan (menipu dalam perniagaan) mereka akan dihukum dengan kepapaan dan kemiskinan serta kezaliman pihak atasan. Bila mereka enggan membayar zakat, mereka akan terhalang oleh hujan dari langit, dan kalau tidak karena adanya hewan dan binatang ternak, tidaklah akan diturunkan hujan. Bila mereka melanggar janji Allah dan RasulNya, maka mereka akan dijajah oleh musuh dari bangsa lain yang akan merampas sebahagian dari harta mereka…” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi).

8 Syarat Untuk Menjadi Waliullah

Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan akan Allah bela, akan diampunkan dosanya, amal ibadahnya akan diterima, akan memberi bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa.

Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat, barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah, pintu rezeki akan terbuka tidak tahu dari mana datang dan sumbernya, mudahkan kerja-kerjanya. Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya :

“Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki sekira-kira tidak terduga-duga”

“Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya”
[Q.S. At-Talaq : 4]

“Allah menjadi pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa”
[Q.S. Al Jasiah : 19]

Dalam ayat yang lain :

“Sesungguhnya amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa”

“Dan jika ada penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan berkat dari pintu langit dan bumi”
[Q.S. Al-A’raf : 96]

Allah akan buka pintu berkat dari langit dan bumi, maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan aman damai, berkasih sayang, mesra, selamat sejahtera, tidak ada gangguan, penuh harmoni dan indah, di dunia sudah dapat Syurga dan pastilah di Akhirat akan dapat Syurga yang kekal abadi.

Banyak ayat yang memberitahu bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa, baru mendapat pembelaan dari Allah. Kalau hanya sekedar Islam tidak ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat. Inilah yang terjadi kepada seluruh umat Islam di dunia hari ini. Rata-rata umat Islam sebagai seorang muslim tetapi tidak menjadi orang yang bertaqwa. Sebab itu tidak ada pembelaan dari Allah. Bila tidak ada pembelaan dari Allah, coba kita lihat apa yang terjadi. Hidup tidak bersatu padu, musuh menekan, menghina, menderita, menjadi hamba orang, susah dan tersingkir di mana-mana. Jumlah banyak tapi tidak bergun laksana buih di laut.

Jadi sekedar menjadi seorang Islam saja jangan merasa selamat sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh karena itu kita mesti menjadi orang bertaqwa baru jaminan dan pembelaan ALLAH akan didapati baik di dunia maupun di Akhirat. Oleh itu kita mesti berusaha bersungguh-sungguh dalam hidup ini untuk memiliki sifat taqwa. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, perlu berusaha menjadikan diri mereka orang yang bertaqwa.

Orang Islam yang mempunyai cita-cita perjuangan bukan saja ingin memperbaiki dirinya tetapi juga ingin memperbaiki masyarakat. Untuk itu, dia mesti faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri dan bagaimana untuk memperbaiki masyarakat.

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :

1. Dapat Petunjuk dari Allah

Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :

“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam”
[Q.S. Al An’am : 125]

2. Faham Tentang Islam
Faham tentang Islam. Bukan tahu tenatng Islam. inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”

Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi “faham” itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan “diberi faham”, akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya “diberitahu” hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dsb. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.

Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.

Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma’ruf wanahyu a’nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hinggalah ke alam sejagat.

Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.

3. Yakin

Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan syak, waham atau zan.Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya “Iya kah ? Betulkah ?” sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil berkata “Eh, kalau aku buat ini, bisa dapat untung tidak ya?”

4. Melaksanakan

Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah haram dan makruh mesti ditinggalkan. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu.

5. Bermujahadah

Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Setan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah jalan raya untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah jalan raya setan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.

“Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan”

Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.

6. Istiqamah Beramal

Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak, kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :

“Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.

Apa yang dimaksudkan sedikit? jika tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: “yang penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat”. Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.

Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.

7. Ada Pemimpin yang Memimpin (Guru Mursyid)

Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.

Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.

Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua’llim. Juga tidak sama dengan ustad dan guru. Sebab mu’alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.

Memang guru pemimpin itu susah dicari. Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata:

“Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah”

Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak ada lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuang pun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.

Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata “kalau kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain”. Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak, seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.

Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada ‘ulama luar jemaah’ atau dukun.

Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya dapat pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain ?” Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.

Orang yang dapat memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.

8. Berdoa Kepada Allah

Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.

Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.

Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT.

Diambil dari Buku “Taqwa menurut Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi”


  1. Abd Halim Abd Rahim said,

    August 8, 2007 at 1:01 am

    aslamualaikum wr bk..
    kalau seorang dipimpin oleh mursyid..maka dia akan hanya dapat sampai ke makam nafsu mutmainah..
    Tapi kalau seorang dipimpin oleh seorang Murobbi..maka dia akan sampai ke makam nafsu rodiyah,mardiyah dan seterusnya kamilah..
    Mursyid adalah umpama kalau dibandaraya KL,dia dapat tunjukkan tempat pada seseorang dari tersesat untuk samapi ke tempat itu..
    Tapi seorang Murobbi..umpama dibandaraya KL,dia dapat tunjukkan tempat pada seseorang dan tidak tersesat dgn mengetahui nama segala nama jalan,lorong,parit dsbginya(lebih terperinci)…
    Maka carilah Murobbi ini…

14 July 2007

PERIHAL ISTERI SHEIKH ABDUL QADIR

Syaikh sufi Syaikh Sihabuddin Umar As-Sahrawardi dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif bab 21 meriwayatkan, “Diantara para ulama ada yang menanyakan kepada Syaikh Abdul Qadir ‘Mengapa engkau menikah ?’. Beliau menjawab, ‘Aku tidak memiliki niat untuk menikah sampai RasuluLlah SAW berkata kepadaku, “Menikahlah engkau”.

Dinukilkan dari Syaikh Abdul Qadir bahwa beliau pernah berkata, “Aku pernah menginginkan isteri pada suatu waktuhanya saja aku tidak ingin menikahkarena khawatir akan menghabiskan waktuku. Akhirnya aku bersabar hingga Allah menganugerahkan 4 isteri kepadaku yang sesuai dengan keinginanku”.

Ibnu Najjar dalam kitab tarikhnya meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir berkata, “Anakku ada 49 orang, 27 diantaranya adalah pria dan issanya wanita.”

Al-Jaba’i meriwayatkan, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Jika anakku lahir, aku mengulurkan tangan mengendongnya seraya berkata, “ini adalah mayit”. Kemudian aku mengeluarkannya dari hatiku. Sehinga apabila ia meninggal maka hal tersebut tidak mempengaruhiku “. Al-Jaba’i meriwayatkan juga bahwa anaknya baik pria maupun wanita ada yang emninggal pada saat beliau sedang mengajar, dan beliau tidak menghentikan (jadwal) pengajaran tersebut. Beliau tetap naik ke atas kursinya dan mengajar, sementara tukang memandikan mayat sedang memandikan anaknya. Setelah selesai mayat anak tersebut dibawa ke majlisnya dan beliau turun kemudian menshalatkannya.

13 July 2007

Hierarki Kewalian



Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :

1. Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang.
Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.

4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.

Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu'az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari
keramaian.

5. Wali Nuqoba'
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba' melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

6. Wali Nujaba'
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammad,saw.